Oleh Aisyah Chairil
PERINGATAN hari lahir Pancasila adalah sebuah momentum yang diperingati setiap tahun. 1 Juni menjadi memori bersejarah tentang lahirnya sebuah meta narasi yang menjadi Philosophie Grondslagh (sumber filsafat) orang Indonesia.
Spirit lahirnya, melewati ijtihad konstitusional yang penuh pertimbangan. Sehingga disetiap silanya mengandung sumber ontologis, epistemologis dan aksiologis, sebagaimana yang dinyatakan Kaelan, Guru besar Pancasila.
Dalam pemaknaan yang lebih luas dan fundamental, Hamid Fahmy Zarkasyi menilai bahwa Pancasila adalah sebagai cara pandang (worldview) masyarakat Indonesia khususnya bagi umat Islam. Unsur ketuhanan pada sila Pertama menempati posisi utama untuk mengidentifikasi dan menilai apakah seseorang pancasilais atau tidak berdasarkan agamanya, baru kemudian berlaku penilaian terhadap sila-sila berikutnya sebagai sumber pendukung spiritualitas warga negaranya.
Meskipun epistemologi atau sumber kebenaran dalam memaknai spiritualitas masing-masing agama berbeda-beda. Bagi orang Islam, sumber spiritualitas itu bersumber pada Wahyu, yakni Al-Quran dan Sunnah.
Untuk mencapai pemahaman mengenai Pancasila dan kaitannya dengan epistemologi pendidikan, perlu kurikulum Pancasila di setiap institusi pendidikan. Hal ini relevan dengan pandangan Dr Adian Husaini, dosen pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun, bahwa Penting pengajaran Pancasila dalam kurikulum pendidikan.
Hal ini menyentuh Institusi Pendidikan yang mencakup perguruan tinggi Islam dan umum, pondok pesantren, sekolah negeri dan swasta termasuk dalam organisasi pelajar dan mahasiswa serta komunitas pendidikan lainnya. Ini perlu agar Pancasila ditemukan di setiap ruang hidup manusia, misalnya di temukan di rumah, di sekolah, di Universitas dan institusi, di pasar, di mesjid dan berbagai tempat lainnya.
Pancasila harus dipahami sebagai sumber moral sekaligus sebagai alat kontrol. Moral yang mengatur tentang setiap ucapan, pikiran dan tindakan yang berkenaan dengan baik dan buruk. Tentu ukuran baik setiap agama berbeda-beda. Namun, Islam telah mewariskan bahwa sumber moral tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai yang diwariskan bangsa tetapi tersembunyi secara hakikat (Haqq) di dalam Pancasila.
Haqq, bagi Syed Naquib Al-Attas diartikan sebagai realitas yang sampai kepada hakikat. Hakikat ini, bagi umat Islam dapat dipahami apabila bersumber pada ajaran Islam. Pemaknaan kebenaran yang sampai kepada Tuhan, yang bersumber dari Wahyu Al-Quran dan Sunnah.
Menjadi muslim di Indonesia adalah sebuah amanah besar guna menjaga komitmen epistemologis ini. Nilai spiritualitas yang tinggi belum lah cukup perlu di dukung oleh tindakan aksiologis yang kuat.
Bukan hanya sekedar pesan epistemologis, tetapi sampai kepada amalan hidup umat Islam khususnya dan warga negara umumnya. Menjalankan perintah agama dengan sebaik-baiknya, mengutamakan adab dalam setiap langkah dan tindakan, mewujudkan keadilan pada manusia, menjunjung tinggi prinsip persatuan atau ukhuwah Islamiyyah, menghargai perbedaan dan pendapat, menjaga dan berbuat baik pada alam semesta.
Tentu masih banyak amalan lain yang diajarkan setiap agama, meskipun berbeda-beda tentu keputusan setiap individu untuk memilih agama yang mana tetap perlu dihargai, inilah salah satu pesan Pancasila dalam mewujudkan persatuan bangsa, “Bhineka Tunggal Ika”. Bagi umat Islam tentu ajaran itu menjadi akhlak yang harus dikedepankan.
Demikian ajaran filosofis Pancasila, ia tidak hanya berkutat di ruang pikiran tetapi nilainya dapat ditemukan di segala ruang. Tugas kita sebagai umat Islam ialah menjaga amanah epistemic ini, agar benar-benar menjadi ijtihad yang bersumber pada kebenaran yang hakiki. Ir. Soekarno pernah berpesan tentang “jas merah”, jangan sesekali melupakan sejarah.
Pesan ini sangat mendalam untuk dimaknai, agar generasi bangsa tidak latah dan lupa dengan identitas bangsanya.
Lahirnya Pancasila, terbentuknya bangsa Indonesia yang merdeka tidak terlepas dari perjuangan umat Islam. Tugas kita hanya menjaga, meneruskan dan mewariskan pada setiap generasi.
Maka dari itu, Islam memerintahkan agar ridak meninggalkan generasi yang lemah. Maka, penting untuk mengajak generasi hari ini, menoleh ke belakang sejenak, mengevaluasi sekaligus merefleksi, apakah kita menjaga pesan mulia ini, atau justru malah menodai, timbangan itu ada pada diri kita masing-masing.
Selamat hari Pancasila, semoga kita menjadi muslim yang semakin taat dan beradab. Aamiin.*
Penulis adalag alumni PKU-UNIDA Gontor angkatan ke-14. Artikel ini dikutip dari situs berita Hidayatullah.com